Tradisi Tabuik di Pariaman: Perpaduan Budaya dan Religi
Kota Pariaman di pesisir barat Sumatera Barat dikenal bukan hanya karena keindahan pantainya, tetapi juga karena sebuah tradisi besar yang sarat makna, yaitu Tradisi Tabuik. Setiap tahun, ribuan masyarakat dan wisatawan berkumpul untuk menyaksikan perayaan spektakuler ini — sebuah upacara yang memadukan nilai religi, budaya, dan kebersamaan masyarakat Minangkabau. Tabuik bukan hanya sebuah perayaan, tetapi juga simbol penghormatan terhadap sejarah dan keimanan yang diwariskan turun-temurun.
Tradisi Tabuik berakar dari peringatan Asyura, yaitu hari kesepuluh bulan Muharram dalam kalender Islam, yang diperingati oleh umat Muslim Syiah sebagai hari gugurnya Imam Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, dalam pertempuran Karbala. Namun di Pariaman, peringatan ini telah berkembang menjadi tradisi budaya yang diterima secara luas oleh masyarakat setempat, tanpa melihat perbedaan mazhab. Nilai-nilai universal seperti pengorbanan, kesetiaan, dan perjuangan menjadi inti dari perayaan ini.
Asal mula tradisi Tabuik diyakini dibawa oleh tentara asal India (keturunan Muslim Syiah) pada masa kolonial Inggris di Bengkulu sekitar abad ke-19. Dari sanalah tradisi ini menyebar ke Pariaman dan kemudian berkembang menjadi tradisi lokal yang khas. Seiring waktu, masyarakat Minangkabau menggabungkan unsur budaya mereka ke dalam perayaan ini, menjadikannya sebuah pertunjukan budaya yang kaya warna dan makna.
Kata “tabuik” sendiri merujuk pada replika menara atau keranda besar yang dibuat dari bambu, kayu, dan kertas warna-warni. Tabuik biasanya dihiasi dengan ornamen megah dan patung makhluk bersayap yang disebut Buraq. Pembuatan tabuik dilakukan secara gotong royong oleh dua kelompok besar masyarakat Pariaman, yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang, yang masing-masing memiliki peran dan tradisi tersendiri.
Perayaan puncak Tabuik berlangsung selama beberapa hari dan melibatkan berbagai prosesi adat, seperti “Maambiak Tanah”, “Maarak Jari-jari”, dan “Tabuik Naiak Pangkek”. Setiap prosesi memiliki makna spiritual dan simbolik yang menggambarkan perjalanan Imam Husain serta nilai pengorbanan dalam mempertahankan kebenaran. Puncaknya adalah pelemparan tabuik ke laut, yang melambangkan kembalinya arwah suci ke langit dan berakhirnya duka cita umat.
Suasana perayaan begitu meriah: bunyi gandang tasa (gendang khas Pariaman) berpadu dengan sorak-sorai masyarakat yang antusias. Namun di balik kemegahan itu, Tabuik juga menjadi momen refleksi spiritual bagi warga, sekaligus wadah mempererat tali persaudaraan.
Tradisi Tabuik di Pariaman adalah contoh nyata bagaimana agama dan budaya dapat berpadu harmonis tanpa kehilangan makna sakralnya. Ia bukan hanya peringatan sejarah, melainkan juga simbol toleransi, kebersamaan, dan semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Dalam dentuman gandang tasa dan warna-warni Tabuik yang menjulang ke langit, kita dapat melihat kekayaan budaya Nusantara yang begitu hidup dan mempersatukan